Presiden RI Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) pada bulan Oktober 2016 lalu telah mengeluarkan paket kebijakan untuk mendorong reformasi hukum di Indonesia. Kebijakan tersebut digulirkan untuk membangun kepercayaan publik terhadap keadilan dan kepastian hukum.
Reformasi hukum secara garis besar terbagi dalam tiga paket strategis, pertama ialah penataan regulasi, kedua reformasi lembaga penegak hukum dan ketiga pembangunan budaya hukum.
Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) menyikapi kebijakan Presiden tersebut sebagai instruksi yang sangat mendesak untuk segera diimplementasikan secara nyata oleh segenap instansi terkait dengan dukungan dan pengawasan dari segenap elemen masyarakat.
Kembali Kepada Pancasila
Paket kebijakan pertama penataan regulasi bertujuan untuk menghasilkan regulasi hukum yang berkualitas. LAI menyoroti bahwa regulasi hukum yang berkualitas harus transparan dan akuntabel serta memenuhi kriteria-kriteria mendasar, pertama harus sejalan dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah negara yang juga ditegaskan melalui Ketetapan (TAP) MPRS No. XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978 jo pasal 2 UU No.10 tahun 2004 jo pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Sehingga setiap regulasi hukum harus digali dari nilai-nilai Pancasila, dikaji secara mendalam sebelum ditetapkan, apakah sejalan dengan Pancasila atau tidak.
Sila-sila dari Pancasila merupakan satu kesatuan utuh, sehingga pemahamannya juga harus secara menyeluruh (komprehensif). Dengan sendirinya kajian regulasi tidak bisa hanya mengacu kepada salah satu sila saja sambil mengabaikan apalagi bertentangan dengan sila-sila lainnya.
Penataan regulasi, dengan demikian, mutlak harus dilandasi dengan semangat dan tekad untuk kembali kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
Kriteria mendasar yang kedua ialah suatu regulasi hukum tidak boleh bertentangan dengan hirarki regulasi hukum di atasnya, tidak boleh pula bertentangan dan/atau saling tumpang tindih dengan yang setara.
Sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011, hirarki regulasi hukum di Negara Republik Indonesia ialah (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); (b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR); (c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perpu); (d) Peraturan Pemerintah; (e) Peraturan Presiden; (f) Peraturan Daerah Provinsi; dan (g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bahwa suatu regulasi hukum yang bertentangan dengan hirarki di atasnya dan/atau dengan regulasi yang setara dapat diajukan uji materi sehingga memungkinkan untuk dibatalkan dan/atau diubah, namun bukanlah di situ substansi permasalahannya. Uji materi hanyalah suatu mekanisme dalam kerangka memenuhi azas prosedural, namun substansi permasalahannya ialah regulasi hukum yang berkualitas tentu tidak perlu harus menghadapi gugatan melalui uji materi. Uji materi harus ditempatkan sebagai sebuah “pintu darurat” yang hanya perlu dipergunakan dalam situasi darurat atau luar biasa, bukan sebuah kebiasaan ataupun pembenaran dari regulasi hukum yang asal-asalan, sekedar memenuhi pesanan/desakan pihak tertentu, atau bahkan terkesan “kejar setoran”.
Kriteria mendasar yang ketiga ialah regulasi hukum harus mampu memberikan rasa aman dan kepastian hukum kepada setiap warga negara, di mana regulasi hukum harus terbebas dari kalimat-kalimat bersayap yang dapat menimbulkan multi-tafsir atau yang dikenal dengan istilah “pasal karet”.
Keberadaan “pasal karet” menunjukkan regulasi hukum yang buruk atau tidak berkualitas, karena “pasal karet” memberi ruang sangat luas terhadap subyektifitas, baik itu subyektifitas dari aparat penegak hukum maupun pihak-pihak yang berperkara. Dengan memberi ruang yang sangat luas terhadap subyektifitas hal itu menyebabkan setiap warga negara tidak mendapat rasa aman dan kepastian hukum karena setiap saat bisa terjerat kasus hukum hanya karena subyektifitas aparat penegak hukum maupun warga negara lainnya, meski tidak pernah melakukan kesalahan yang dapat dibuktikan secara obyektif. Subyektifitas juga sangat rawan menjadi alat penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum dan menjadi pembenaran pemaksaan kehendak oleh setiap atau sekelompok warga negara.
Contoh “pasal karet” yang pernah dan masih ada dalam regulasi hukum kita di antaranya “perbuatan tidak menyenangkan”, “pencemaran nama baik” dan “penodaan agama”.
Regulasi hukum yang baik, yang berkualitas, harus memuat batasan-batasan yang jelas, hanya memberi ruang kepada obyektifitas, karena hanya dengan obyektifitaslah fakta bisa didapatkan, dan hanya melalui faktalah kebenaran bisa dipertanggungjawabkan, sehingga putusan atau hasil dari sebuah proses peradilan akan menjadi lebih adil.
Selain kriteria-kriteria mendasar regulasi hukum yang berkualitas juga harus memenuhi kriteria umum maupun terkait hal-hal yang bersifat lebih teknis. Regulasi harus jadi pendorong bukan penghambat, menyederhakan bukan membuat semakin rumit, mempermudah bukannya mempersulit.
Regulasi yang rumit dan sulit akan menjadi ajang penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintahan, serta akan melestarikan hubungan masyarakat dan birokrasi yang sarat diwarnai dengan pungutan liar (pungli), korupsi dan kolusi.
Reformasi lembaga penegak hukum
Paket strategis yang kedua ialah reformasi lembaga penegak hukum. LAI memandang reformasi lembaga penegak hukum harus dimulai dengan revolusi mental bagi aparat penegak hukum. Bahwa sebagai aparatur negara, aparat penegak hukum harus memiliki mental sebagai abdi/pelayan masyarakat bukan majikan atau bos-nya masyarakat. Setiap aparat penegak hukum harus memiliki mental-ideologi yang kokoh, tertanam jiwa Pancasila sebagai falsafah bangsa serta sebagai sumber dari segala sumber hukum negara Republik Indonesia. Setiap aparat penegak hukum juga harus memahami UUD 1945 sebagai hirarki hukum tertinggi di negara Republik Indonesia.
Dengan mampu memahami dan menjiwai Pancasila dan UUD 1945, maka aparat penegak hukum akan terhindar dari hanya berkutat di aspek legal-formal regulasi hukum yang tidak memiliki jiwa.
Berikutnya adalah proses rekruitmen maupun mutasi dan promosi pangkat/jabatan aparat penegak hukum harus terbebas dari praktek pungli, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Rekruitmen adalah proses awal mencari aparat penegak hukum yang berkualitas. Jika proses rekruitmen sudah dikotori dengan praktek pungli dan KKN, nyaris mustahil didapatkan aparat penegak hukum yang benar-benar mengabdi kepada bangsa dan negara serta menjadikan hukum yang berlandaskan azas keadilan dan kebenaran sebagai panglima.
Begitupun dengan mutasi dan promosi, jika sarat dengan pungli dan KKN pada akhirnya hanya akan memproduksi aparat penegak hukum yang bermental “wani piro?”.
Selanjutnya ialah hubungan antar lembaga penegak hukum serta batas-batas kewenangan masing-masing. Hal tersebut harus diperjelas dan dipertegas sehingga tidak terjadi tumpang tindih maupun tarik menarik atau rebutan kasus antar lembaga penegak hukum.
Setiap lembaga hukum harus mampu menanggalkan ego sektoral masing-masing, harus bisa mendorong serta patuh pada aturan yang jelas dan tegas, bahwa di atas kepentingan pribadi dan sektoral ada kepentingan bangsa dan negara yang harus selalu diutamakan.
Pembangunan budaya hukum
Paket strategis ketiga adalah pembangunan budaya hukum. Pembangunan budaya hukum itu melibatkan seluruh elemen bangsa, tidak hanya pemerintah dan aparat penegak hukum, tapi juga melibatkan seluruh masyarakat Indonesia.
Pembangunan budaya hukum harus dimulai dari pemahaman tentang hak dan kewajiban, baik sebagai pemerintah, aparat penegak hukum maupun masyarakat luas. Bahwa setiap warga negara memiliki hak namun juga memiliki kewajiban yang melekat dan telah diatur sedemikian rupa. Sehingga tidak boleh hanya menuntut hak tapi melupakan atau mengabaikan kewajiban.
Terkait dengan proses atau perkara hukum, perlu dibangun sebuah budaya hukum, di mana proses hukum tidak boleh semata hanya sebatas memenuhi azas prosedural, sekedar memenuhi hak warga negara secara administratif. Namun juga harus menyentuh substansi tentang Keadilan dan Kebenaran, tentang azas kepatutan dan akal sehat serta meletakkan hal tersebut sebagai kewajiban baik bagi aparat penegak hukum maupun setiap warga negara.
Salah satu contoh proses hukum yang sekedar memenuhi azas prosedural, sekedar memenuhi hak warga negara secara administratif ialah apa yang terjadi di Banyuasin, Sumatera Selatan. Sungguh tidak patut dan sulit diterima nalar jika sudah ada putusan perkara pidana dari Mahkamah Agung, yang berarti sudah inkhracht (memiliki kekuatan hukum tetap), tapi masih berusaha diseret-seret dalam gugatan perdata untuk perkara dan objek yang sama, seperti yang dilakukan oleh PT. Swadaya Indopalma (SIP) di Banyuasin - Sumsel terhadap Ketua Koperasi Tanjung Harapan Makmur, Bp. Mulyaji.
Dengan membangun budaya perilaku hukum yang menyentuh substansi tentang Keadilan dan Kebenaran, tentang azas kepatutan dan akal sehat, maka dengan sendirinya menghindarkan lembaga penegak hukum maupun lembaga peradilan hanya digunakan sebagai akal-akalan untuk menghindar dari kewajiban atau sekedar untuk mengulur-ulur waktu.
Berikutnya adalah membangun budaya hukum yang terbebas dari intervensi, baik oleh pejabat negara di pusat maupun daerah, oleh oknum-oknum pengusaha maupun oleh sekelompok masyarakat yang ingin memaksakan kehendak.
Presiden RI Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini telah menunjukkan contoh yang sangat baik tentang suatu proses hukum yang terbuka dan terbebas dari intervensi oleh kekuasaan (pemerintah). Dalam kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Jokowi berhasil membuktikan bahwa Jokowi selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak melakukan intervensi sebagaimana dituduhkan oleh banyak pihak, bahkan sebaliknya mendorong proses hukum mulai dari penyidikan di Kepolisian secara transparan.
Apa yang telah dicontohkan oleh Presiden Jokowi tersebut sudah seharusnya menjadi inspirasi serta motivasi bagi aparat penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK agar tidak ragu-ragu lagi untuk menindaklanjuti secara serius semua perkara hukum baik yang belum maupun yang masih dalam proses, seperti kasus mega-korupsi E-KTP, kasus dugaan makar, kasus pelecehen terhadap lambang negara, dan sebagainya. Siapapun yang bersalah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, tanpa terkecuali.
Setiap aparat penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah harus berani berkata TIDAK untuk setiap upaya intervensi. Karena hanya dengan menolak adanya intervensilah prinsip equality before the law (setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum) suatu proses maupun putusan hukum dapat dikatakan adil.
Reformasi Hukum Adalah Satu Kesatuan
Meskipun kebijakan Presiden tentang reformasi hukum dibagi ke dalam tiga paket strategis, LAI memandang hal tersebut sebagai hal teknis untuk memetakan permasalahan serta menentukan langkah-langkah yang tepat. Namun pada prinsipnya ketiga paket strategis tersebut saling terkait erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, akan tetapi dilakukan secara simultan.
Penataan regulasi akan menemui hambatan serius jika tidak dibarengi dengan reformasi lembaga penegak hukum dan pembangunan budaya hukum. Reformasi lembaga penegak hukum akan mandul jika tidak disertai penataan regulasi dan pembangunan budaya hukum. Begitupun pembangunan budaya hukum akan menjadi angan-angan kosong belaka jika tanpa penataan regulasi dan reformasi lembaga penegak hukum.
LAI memandang reformasi hukum sebagai agenda mendesak yang harus segera dilaksanakan di negeri ini. Untuk itu LAI menginstruksikan kepada segenap pengurus LAI di pusat maupun di daerah untuk berperan aktif mendorong implementasi kebijakan Presiden Jokowi tersebut, serta mengawasi adanya hambatan terutama dari perilaku oknum pemerintahan, oknum aparat penegak hukum, maupun oknum-oknum pengusaha dan masyarakat yang merasa telah diuntungkan dengan situasi penegakan hukum yang tidak menentu.
Setiap pengurus LAI harus berada di garda depan mengawal pelaksanaan reformasi hukum sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan negara untuk mewujudkan hukum yang berlandaskan keadilan dan kebenaran menjadi panglima di Negara Republik Indonesia.
Pantai Cahaya adalah salah satu tempat wisata pantai yang terletak di Rowosari, Kendal. Pantai ini cukup berdekatan dengan Pantai Sendang Sikucing. Tempat wisata ini dikelola oleh PT Wersut Seguni Indonesia (WSI) yang menjadi lembaga konservasi mamalia pertama di Indonesia sejak tahun 1999. Salah satu yang dijadikan andalan di kawasan wisata ini adalah lumba-lumba.
Tempat ini lengkap sebagai tempat wisata. Alamnya yang indah, fasilitas yang lengkap dan tersedianya beragam atraksi wisata. Bagi yang suka bercengkrama bersama keluarga di kolam, Water Kingdom bisa jadi pilihan. Ada juga kebun binatang mini dengan koleksi binatang yang cukup lengkap. Pengunjung juga dapat menikmati pemandangan matahari terbenam di Taman Sunset Pantai Cahaya.
KEHADIRAN
ATRAKSI
PENTAS
LUMBA-LUMBA
DI KOTA ANDAKetua Umum Lembaga Aliansi Indonesia, Irawati Djoni Lubis mengajak seluruh Anggota Dewan Pengurus, dari DPD, DPC, DPAC, dan Ranting Anggota Aliansi di tanah air, mari kita hilangkan budaya Iri, Dengki, Sirik dan Su-udzhon, yang hanya menimbulkan keresahan dan permusuhan di antara kita. Yuk..... tumbuh kembangkan lagi budaya Santun, Tatakrama kehidupan sosial yang saling menghormati dan menghargai yang telah diwariskan oleh para leluhur kita sebagai perisai kepribadian bangsa, karena dengan kepribadian itulah kita akan Menjadi Bangsa yang Besar dengan tatanan kehidupan sosial yang sejuk, rukun, damai dan tenteram. Dengan konsepsi budaya asli milik bangsa kita, Insya Allah kita akan menyongsong kehidupan berkebangsaan dan bernegara yang diridhoi oleh Tuhan YME, di Dunia maupun di Akhirat, Amin...........!